Putusan Bebas Pelaku Kekerasan Seksual di Serang: Keprihatinan atas Keadilan bagi Anak
SERANG – Keputusan mengejutkan dari Pengadilan Negeri Serang yang membebaskan MS (46 tahun), terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak kandungnya, menuai kecaman. Putusan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen perlindungan terhadap anak, terutama mengingat banyaknya perangkat hukum yang dirancang untuk melindungi korban kekerasan seksual. Kamis, (16/01/2025)
Majelis hakim menjadikan perdamaian antara korban dan pelaku serta pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh korban sebagai alasan utama putusan bebas ini. Namun, keputusan tersebut dianggap bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Kekerasan Seksual Tidak Bisa Didamaikan”
Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Serang menegaskan bahwa putusan ini bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang dengan jelas menyebutkan bahwa kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan.
“Mediasi atau perdamaian tidak dapat digunakan untuk meringankan hukuman atau menghapuskan tanggung jawab pidana pelaku. Ini adalah aturan yang tegas, namun tidak diterapkan dalam kasus ini,” ujar Hj. Kuratu Akyun, S.Pd., AUD, Ketua Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Serang.
Peraturan lainnya, seperti Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang telah diperbarui menjadi UU No. 35 Tahun 2014), juga menegaskan bahwa negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Pencabutan BAP Tidak Menghapus Proses Hukum
Pencabutan BAP oleh korban menjadi dasar lain yang dipertimbangkan hakim. Namun, Pasal 24 UU TPKS menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak merupakan delik biasa, yang berarti kasus ini tetap harus diproses oleh aparat hukum, meskipun korban atau keluarga mencabut laporan.
Selain itu, Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2022 tentang Pemberantasan Tindak Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan memperkuat komitmen pemerintah untuk memastikan bahwa semua tindak kekerasan seksual diproses secara hukum tanpa diskriminasi. Kepres ini juga menginstruksikan kepada semua aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan memprioritaskan perlindungan korban.
Narasi Cemburu yang Merendahkan Martabat Korban
Salah satu poin kontroversial dalam putusan ini adalah alasan yang menyebutkan bahwa laporan korban dipengaruhi rasa cemburu terhadap ibu tiri. Narasi ini tidak hanya memperburuk trauma korban, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam perlindungan anak.
“Narasi seperti ini adalah bentuk pengalihan yang tidak relevan dan berbahaya. Kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang tidak boleh disederhanakan dengan alasan subjektif seperti ini,” ujar seorang aktivis perlindungan anak.
Langkah Lanjutan dan Seruan untuk Keadilan
Komnas Perlindungan Anak mendesak Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengajukan kasasi terhadap putusan ini. Mereka juga menyerukan implementasi yang lebih tegas terhadap UU TPKS dan kebijakan lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
“Kami meminta agar kasus ini diawasi oleh publik dan pemerintah, karena ini menyangkut hak anak yang telah dilanggar secara serius. Kekerasan seksual terhadap anak adalah extraordinary crime yang memerlukan penanganan luar biasa,” tutup Kuratu Akyun.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa meskipun perangkat hukum sudah tersedia, penegakan hukum yang tegas dan berpihak pada korban tetap menjadi tantangan besar. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan masa depan anak-anak terjamin. (Hdi)